Seluk Beluk Cerita Makam Gantung di Kota Blitar


Blitar kota kecil yang terletak dari sebelah barat dan mempunyai gudang cerita sejarah di dalamnya beserta lahirnya para pejuang di negara indonesia ini.

Bagi warga Blitar, mendengar makam gantung sudah tak asing lagi. Namun bagi yang baru saja mendengar, pasti penasaran dan akan bertanya-tanya, Apa memang ada makam digantung?.

Menjawab rasa penasaran itu, kami team Tidak Lupa mendatangi Pesanggrahan Djojodigdan di Jalan Melati 43 Kota Blitar, lokasi makam gantung itu berada.

Rumah kuno dengan pekarangan seluas 3,5 hektare itu banyak ditumbuhi pohon buah-buahan.  Ada rambutan yang siap panen, Kedondong, Kluwih, dan Belimbing.

Tampak dua patung singa duduk ada di sebelah kanan dan kiri teras rumah kuno itu. Areal makam gantung lokasinya ada di bagian belakang sisi kanan.

Tampak beberapa pria juga berkunjung ke sana untuk ziarah. Kabar yang beredar, makam gantung adalah makam keramat di Blitar.

Di tempat itulah dimakamkan Mas Ngabehi Bawadiman Djojodigdo, seorang Patih Blitar yang menguasai ilmu Pancasona (baca: Kisah Misteri Makam Gantung Di Blitar).

Menurut Lasiman, juru kunci makam, memang banyak orang yang salah kaprah dengan sebutan Makam Gantung.

Banyak yang mengira eyang Djojodigdan dikubur dengan cara digantung karena ajian Pancasona yang dimilikinya.

 Bagi pemilik ajian pancasona dipercaya akan membuatnya hidup lagi saat jasadnya menyentuh tanah. Sehingga yang memiliki ilmu pancasona baru bisa mati jika tubuhnya dipisah menyeberangi sungai dan jasadnya dikubur dengan cara digantung.

Menurutnya laki-laki 70 tahun ini, eyang Djojodigdan dimakamkan layaknya manusia pada umumnya. Sedangkan yang digantung adalah baju kebesaran dan senjatanya.


“Makam tersebut dibangun pada 11 Ruwah 1840 atau 18 Agustus 1910, makamnya sama seperti orang pada umumnya.

Namun di bagian atasnya memang ada sebuah cungkup yang digunakan untuk menyimpan baju dan senjata beliau,” jelas Lasiman.

 Lasiman menambahkan, ajian pancasona yang dimiliki Eyang Djojodigdan telah diambil sang guru yang memberi ilmu itu.

Ilmu itu diambil lantaran Eyang Djojodigdan pernah meninggal tiga kali dalam sehari. Saat tubuhnya menyentuh tanah Eyang Djojodigdan yang meninggal di usia 84 tahun ini hidup kembali.

 “Guru beliau itu Kyai Imam Sujono atau Eyang Jugo. Beliau meninggal di usia 84 tahun saat sakit sepuh (sakit tua-red).

Lalu karena kerabatnya kasihan melihat Eyang Djojodigdan yang kembali hidup saat menyentuh tanah dimintakan eyang Imam Sujono untuk mengambil kembali ilmu Pancasonanya,” jelasnya.

BAGIKAN KE ORANG TERDEKAT ANDA
ONE SHARE ONE CARE

Sekilas tentang penulis : tidak lupa

terimakasih anda telah membaca artikel yang kami buat di blok ini, semoga bisa memberikan wawasan cakrawala sejarah. silahkan baca artikel lainnya yang lebih menarik s